Di sebuah desa yang tenang, hiduplah seorang mu’alaf tua bernama Pak Ahmad. Meskipun usianya telah mencapai tujuh puluh tahun, semangatnya untuk belajar agama Islam tetap menyala. Setelah memeluk Islam, ia bertekad untuk menjalani hidup dengan baik, termasuk menjalankan ibadah sholat berjamaah di masjid.
Suatu malam, Pak Ahmad memutuskan untuk mengikuti sholat Isya’ di masjid dekat rumahnya. Ia mengenakan sarung yang sudah usang dan baju koko yang sedikit kebesaran. Dengan langkah pelan, ia menuju masjid sambil membawa sajadah. Meskipun usia lanjutnya, semangatnya tak pernah pudar.
Sesampainya di masjid, Pak Ahmad melihat jamaah sudah berkumpul. Ia segera bergabung dan mengambil posisi di barisan belakang. Imam masjid, Ustadz Ali, seorang pemuda dengan bacaan sholat yang merdu, memimpin sholat Isya’ malam itu dengan penuh semangat.
Saat sholat dimulai, semua jamaah mengikuti gerakan imam dengan khusyuk. Pak Ahmad, meski baru belajar, berusaha mengikuti setiap gerakan. Namun, ketika Ustadz Ali tiba di rakaat kedua, terjadi sesuatu yang tak terduga; Ustadz Ali salah rakaat dan langsung berdiri tanpa duduk.
Merasa ada yang aneh, Pak Ahmad berusaha mengingat apakah ia yang keliru atau imamnya. Karena tidak ingin mengganggu konsentrasi jamaah lain, ia tetap diam, meski rasa ingin tahunya semakin menggebu. Akhirnya, Pak Ahmad merasa perlu memberikan sedikit bantuan kepada imam. Dengan pelan, ia mendekatkan mulutnya ke telinga Ustadz Ali dan berbisik, “Kurang siji!”
Ustadz Ali terkejut dan menoleh ke arah Pak Ahmad. Jamaah yang mendengar bisikan itu pun terdiam sejenak, lalu tiba-tiba tertawa riuh. Pak Ahmad bingung mengapa semua orang tertawa, berpikir ia hanya memberi tahu imam tentang kekurangan rakaat. Namun, tawa jamaah semakin keras, dan Ustadz Ali berusaha menahan tawa sebelum akhirnya berkata, “Mari kita ulang dari awal!”
Pak Ahmad yang masih bingung bertanya, “Tapi, Ustadz, saya kan sudah bilang ‘kurang siji’, kenapa tidak dilanjutkan saja?” Jawaban Ustadz Ali, “Itu bukan cara kita memberi tahu imam, seharusnya ‘Subhanallah!'” membuat Pak Ahmad merasa malu, tetapi juga tersenyum.
Setelah sholat selesai, jamaah beranjak keluar dengan senyuman. Beberapa mendekati Pak Ahmad dan mengungkapkan betapa menghiburnya ia malam itu. Dari saat itu, Pak Ahmad dikenal sebagai “mu’alaf lucu” yang selalu bisa membuat orang tertawa. Setiap kali sholat berjamaah, kehadirannya ditunggu-tunggu, dan ia pun mulai belajar lelucon untuk menghibur jamaah.
Pak Ahmad juga mengadakan pengajian kecil di rumahnya untuk berbagi pengalamannya dengan anak-anak muda di desa. Mereka sangat antusias mendengarkan cerita lucunya saat sholat Isya’ dan perjalanan hidupnya sebagai mu’alaf. Ia menjelaskan pentingnya niat dan usaha dalam belajar agama, serta bahwa tertawa dalam batasan yang baik itu diperbolehkan.
Kisah Pak Ahmad menyebar ke desa-desa tetangga, dan ia merasa bahagia bisa memberikan dampak positif bagi orang lain. Meskipun usianya semakin menua, semangatnya untuk belajar dan berbagi tak pernah pudar. Ia terus menjadi bagian dari jamaah masjid, selalu siap dengan senyuman dan cerita lucu yang membuat orang lain tertawa. Kenangan lucu saat sholat Isya’ menjadi pengingat bahwa dalam beribadah, kita juga bisa menemukan kebahagiaan dan keceriaan.